Ritual “manusia buaya” ini adalah satu dari sekian banyak ritual tradisional Papua Nugini yang masih ada hingga sekarang. Ritual unik ini dapat dijumpai di sepanjang tepian Sungai Sepik, Papua Nugini sebelah utara. Bagaimana ritual ini dijalankan? Berikut ulasannya seperti dilansir viralsbook dari Mark Stratton untuk BBC
VIRALSBOOK.COM – Pernahkah Anda melihat tokoh Killer Croc dalam film Suicide Squad? Iya, Karakter mutan yang penampilannya sangat menyeramkan yang tak lain adalah musuh Batman. Nama aliasnya adalah Waylon Jones yang memiliki kelainan saat kelahiran yang membuat penampilannya mirip buaya. Bagaimana tidak, kulitnya terlihat penuh dengan sisik buaya. Tidak mengherankan jika kemudian penjahat di jalanan Gotham ini mendapatkan nama Killer Croc atau Buaya Pembunuh dengan julukan Raja dari Selokan Pembuangan.
Namun percaya atau tidak, di dunia nyata ternyata memang benar-benar ada manusia dengan kulit menyerupai buaya. Jumlahnya pun bukan hanya satu, mereka adalah penduduk tradisional yang sekarang mendiami Papua Nugini, negara tetangga Indonesia di sebelah timur. Sebanyak 80 persen warga Papua Nugini masih hidup di desa-desa. Banyak dari desa tersebut yang terletak di lokasi yang terpencil. Maka bukan hal yang mengherankan jika kemudian masih banyak warga setempat yang memegang teguh adat dan ritual tradisionalnya.
Ritual “manusia buaya” ini adalah satu dari sekian banyak ritual tradisional Papua Nugini yang masih ada hingga sekarang. Melansir laporan Mark Stratton untuk BBC saat melakukan kunjungan langsung ke Papua Nugini, ritual ini dapat ditemukan di sepanjang tepian Sungai Sepik, Papua Nugini sebelah utara.
Ritual Sepik mengambil tempat di rumah roh atau Haus Tambaran kalau dalam bahasa setempat, yang memang banyak terdapat di sepanjang tepian sungai. Di bagian dalam rumah ini, terdapat banyak ukiran dan lukisan dinding yang menampilkan beragam makhluk hidup. Mulai dari babi hutan, ular, burung kasuari, hingga elang. Namun dari sekian banyak hewan tersebut, buayalah hewan yang paling diagungkan dan dianggap memiliki kekuatan spiritual paling tinggi menurut penduduk setempat.
Jadi, bagaimana ritual ini dijalankan? Hanya kaum pria belia yang akan menjalani ritual manusia buaya. Tidak jarang anak laki-laki yang baru menginjak usia 11 tahun turut diikutkan dalam ritual ini dengan tujuan untuk menyiapkan kaum muda Sepik supaya siap menghadapi kerasnya hidup.
Sesudah menjalani persiapan selama kurang lebih enam minggu, para pemuda yang akan menjalani ritual akan dibimbing masuk ke dalam rumah roh. Tetua yang memimpin ritual ini kemudian menyayat-nyayat badan peserta ritual dengan memakai pisau silet. Penyayatan ini bisa memakan waktu satu hingga dua jam. Beberapa tahun yang lalu sebelum menggunakan pisau silet, penyayatan oleh tetua adat dilakukan dengan memakai bambu tajam.
Para pemuda yang menjalani ritual ada yang sampai kehilangan kesadaran akibat tidak bisa menahan rasa sakit. Saat prosesi ritual, Kaum pria yang lebih tua memainkan seruling suci untuk meredakan rasa sakit mereka, dan luka sayatan ritual sepik ditutupi dengan minyak pohon dan tanah liat putih dari sungai untuk mencegah infeksi.
Sesudah menjalani ritual penyayatan, luka peserta ritual kemudian dilapisi dengan semacam tanah liat. Tujuannya supaya bekas luka tersebut terlihat menonjol layaknya sisik buaya ketika luka hasil ritual ini sudah sembuh.
Ritual ini sendiri dilakukan bukan semata-mata agar kaum pria Sepik memiliki punggung mirip buaya. Rasa sakit yang diterima oleh peserta ritual menyimbolkan rasa sakit yang bakal ia hadapi saat harus melanjutkan hidupnya di dunia. Sementara luka-luka tadi menyimbolkan bekas gigitan buaya pada tubuh manusia. Saat peserta selesai menjalani ritual, ia digambarkan terlahir kembali sebagai representasi dari sosok buaya. Selain itu, ritual sepik menurut keyakinan mereka, menyimbolkan dimulainya hidup baru peserta ritual sebagai pria yang mandiri. Saat ritual berlangsung, darah milik ibu pada sang peserta akan menghilang dan digantikan oleh darah dewasa miliknya sendiri.
Ritual manusia buaya bukan hanya terbatas pada penyayatan saja. Para peserta juga bakal menghabiskan waktu selama berbulan-bulan di dalam rumah roh untuk mempelajari beragam keterampilan dari mereka yang sudah tua. Mereka mendapatkan pengetahuan dari para roh desa. Pengetahuan mengenai cara memancing, cara mengukir, dan bagaimana cara menghidupi istri dan keluarga mereka.
Menurut legenda yang dipercaya penduduk setempat, penduduk Sepik aslinya adalah buaya yang bangkit dari sungai dan kemudian hidup di darat sebagai manusia. Jadi tak mengherankan jika ritual yang sangat unik ini begitu diagungkan oleh penduduk setempat. Menurut mereka buaya adalah simbol kekuatan. Penduduk tradisional Papua Nugini meyakini bahwa mereka akan mendapatkan energi dari kekuatan buaya.
Di desa Kaminimbit yang jaraknya kurang lebih satu setengah hari dengan perjalanan perahu dari Parambei, Ritual buaya ini hamper punah dan tidak lagi dipraktikkan akibat mulai masuknya pengaruh agama Kristen lewat misionaris yang datang dari Jerman. Kebetulan wilayah Papua Nugini bagian utara memang sempat menjadi koloni Jerman sebelum kemudian berpindah tangan ke Inggris sesudah Perang Dunia Pertama.
Kendati demikian, agama Kristen tidak lantas membuat kepercayaan lokal punah sepenuhnya dari Kaminimbit. Hal ini terlihat dari bangunan rumah roh dan gereja yang berdiri secara berdampingan. Namun kini rumah roh tersebut lebih berfungsi sebagai tempat bagi kaum pria untuk membaur satu sama lain.
Situasi yang nyaris serupa juga dapat dijumpai di desa Wombun. Para misionaris Kristen menentangnya, namun penduduk setempat masih melakukan upacara setiap beberapa tahun untuk menghormati buaya. Itupun hanya sedikit pemuda lokal yang akan menjalani ritual dan penyayatan. Selain masalah benturan budaya, masalah biaya ritual penyayatan yang tinggi juga menjadi alasan mengapa ritual ini mulai ditinggalkan warga setempat.
Pengaruh agama Kristen sendiri sebenarnya turut dirasakan di Parambei. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya gereja Katolik di desa tersebut. Para misionaris sempat menganjurkan warga Parambei untuk meninggalkan ritual manusia buaya. Namun kenyataannya, ritual tersebut masih tetap berlanjut hingga sekarang di desa Parambei.
Ritual manusia buaya sendiri bukanlah satu-satunya produk budaya tradisional setempat yang bertemakan buaya. Setiap awal Agustus, penduduk di sekitar Sungai Sepik bakal menggelar festival buaya selama tiga hari di Ambunti. Dalam festival ini, penduduk dari beragam desa akan berkumpul sambil melakukan tarian dan nyanyian selama beberapa jam.
Seperti yang sudah bisa diduga, festival ini juga menampilkan hal-hal yang bertemakan buaya. Para peserta festival mengenakan untaian kalung yang terbuat dari rangkaian gigi buaya. Sebagian dari mereka juga menghiasi tameng tradisionalnya dengan motif menyerupai mulut buaya yang sedang menganga. Dalam sejumlah kesempatan, para penari bahkan terlihat memegang buaya sungguhan dengan mulut yang sudah diikat. (www.viralsbook.com)